selamat datang
Powered By Blogger

Rabu, 25 Januari 2017

PRINSIP DASAR EKONOMI ISLAM

PRINSIP-PRINSIP DASAR EKONOMI ISLAM

PENDAHULUAN

Islam yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW adalah mata rantai terakhir agama Allah yang diwahyukan kepada semua rasulNya. Sebagai mata rantai terakhir, Islam yang diwahyukan kepada nabi terakhir itu merupakan agama Allah yang telah disempurnakan dan ditujukan kepada seluruh umat manusia sepanjang zaman, hingga datangnya hari qiyamat nanti.
Sebagai agama Allah yang telah disempurnakan, Islam memberikan pedoman dalam seluruh aspek kehidupan manusia, spiritual-materiil, individual-sosial, jasmanirohani dan dunia-ukhrawi.Bidang ekonomi juga diperoleh pedoman-pedomannya dalam Islam, pada umumnya dalam bentuk garis besar, guna memberi peluang perkembangan kehidupan ekonomi di kemudian hari.
Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang disiapkan untuk mampu mengemban amanatNya, memakmurkan kehidupan di bumi dan diberi kedudukan terhormat sebagai wakilNya (khalifah) di bumi dengan tetap memperhatikan beberapa koridor (asas, prinsip) yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadith.
Prinsip merupakan suatu mekanisme atau elemen pokok yang menjadi struktur atau kelengkapan suatu kegiatan atau keadaan.Sedangkan prinsip ekonomi dalam Islam merupakan kaidah-kaidah pokok yang membangun struktur atau kerangka ekonomi Islam yang digali dari Al-Qur’an dan hadith.Prinsip ekonomi ini berfungsi sebagai pedoman dasar bagi setiap individu dalam berperilaku ekonomi. Namun, agar manusia bisa menuju falah, perilaku manusia perlu diwarnai dengan spirit dan norma ekonomi Islam, yang tercermin dalam nilai-nilai ekonomi Islam.
Keberadaan prinsip dan nilai ekonomi Islam merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.Implementasi prinsip ekonomi tanpa diwarnai oleh nilai ataupun nilai tanpa prinsip dapat menjauhkan manusia dari tujuan hidupnya, yaitu falah. Implementasi nilai tanpa didasarkan pada prinsip akan cenderung membawa kepada ekonomi normatif belaka, yang akan menyebabkan perekonomian yang bersangkutan terjerumus ke dalam ketidakadilan. sementara penerapan nilai tanpa prinsip akan membuat rusaknya tatanan ekonomi dan menjauhkan dari tujuan ekonomi itu sendiri.


















Prinsip Ekonomi dalam Islam
Bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal, yakni tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintah), dan ma’ad (hasil). Kelima dasar inilah yang dijadikan dasar untuk membangun teori-teori ekonomi Islam. Namun teori yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi sistem, akan menjadikan ekonomi Islam hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa memberi dampak pada kehidupan ekonomi. Karena itu, dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi Islam. Ketiga prinsip derivatif itu adalah multitypeownership, freedomtoact, dan socialjustice.
Semua teori ekonomi Islam dan prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam tersebut tidak lain hanyalah untuk mencapai tujuan Islam dan dakwah para nabi, yaitu akhlak. Akhlak inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya. MultitypeOwnership (kepemilikan multijenis) Nilai tauhid dan nilai keadilan melahirkan konsep MultitypeOwnership. Dalam sistem kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan swasta; dalam sistem sosial, kepemilikan negara; sedangkan dalam Islam, berlaku kepemilikan multijenis, yakni mengakui bermacam-macam bentuk kepemilikan, baik oleh swasta, negara maupun campuran.
Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid: pemilik primer langit, bumi dan seisinya dalah Allah, sedangkan manusia diberi amanah untuk mengelolanya. Jadi, manusia dianggap sebagai pemilik sekunder. Hal ini terangkum dalam QS.Al-Najm; 31:
Artinya: “Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga)”.
Sumber daya menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat hidup orang banyak harus menjadi milik umum.Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS.Al-Baqarah; 284, dan QS.Al-Maidah; 17:
(QS. Al-Baqarah, 284)
Artinya: “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
(QS. Al-Maidah, 17)
Artinya: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Dengan demikian, konsep kepemilikan swasta diakui.Namun untuk menjamin keadilan, yakni supaya tidak ada proses pendzaliman segolongan orang terhadap segolongan yang lain, maka cabang-cabang produksi yang penting dan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Dengan demikian, kepemilikan negara dan nasionalisasi juga diakui.Sistem kepemilikan campuran. Sedangkan untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah, manusia wajib tolong menolong dan saling membantu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi yang bertujuan ibadah kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah, 2:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaaid, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka).Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

Semua konsep ini berasal dari filosofi norma dan nilai-nilai Islam. Freedom to Act (Kebebasan untuk bergerak/usaha) Penerapan nilai nubuwwah, akan melahirkan pribadi-pribadi yang profesional dalam segala bidang, termasuk dalam bidang ekonomi dan bisnis. Para pelaku ekonomi dan bisnis menjadikan nabi sebagai teladan dan model dalam melakukan aktivitasnya. Keempat nilai nubuwwah (siddiq, amanah, fathanah, dan tabligh) apabila digabungkan dengan nilai keadilan dan khilafah (goodgovernance) akan melahirkan konsep freedomtoact pada setiap muslim, khususnya pelaku bisnis dan ekonomi. Freedomtoact bagi setiap individu akan menciptakan mekanisme pasar dalam perekonomian. Karena itu, mekanisme pasar adalah keharusan dalam Islam, dengan syarat tidak ada distorsi (proses pendzaliman) dan tidak ada kecurangan. Potensi distorsi dikurangi dengan menghayati nilai keadilan. Penegakan nilai keadilan dalam ekonomi dilakukan dengan melarang semua mafsadah, riba, gharar, dan maisir. Selain itu, dasar dari setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Kejujuran merupakan kualitas dasar kepribadian moral. Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan moral lainnya akan hilang. Menurut Prof. H. Ismail Nawawi dalam bukunya ekonomi Islam, disebutkan bahwa kejujuran dalam ekonomi Islam terwujud dalam berbagai aspek:
a) Kejujuran yang terwujud dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak.
b) Kejujuran yang terwujud dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu yang baik.
c) Kejujuran menyangkut hubungan kerja.
Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang konsep kujujuran adalah QS.Al-Muthaffifin, 1-3:
Artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”

Dari nabi SAW. bersabda: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar, apabila keduanya jujur dan menjelaskan cacat barangnya niscaya Allah akan menurunkan keberkahan, tetapi apabila keduanya saling berbohong dan menyembunyikan cacat barangnya, niscaya Allah akan mencabut keberkahan dari transaksi perdagangannya.

Negara bertugas menyingkirkan atau paling tidak mengurangi distorsi pasar ini. Dengan demikian, pemerintah/negara bertindak sebagai wasit yang mengawasi interaksi pelaku-pelaku ekonomi dan bisnis dalam wilayah kekuasaannya untuk menjamin tidak dilanggarnya syari’ah, dan supaya tidak ada pihak-pihak yang dzalim atau terdzalimi, sehingga tercipta iklim ekonomi dan bisnis yang sehat. SocialJustice (keadilan sosial) Keadilan (adl) merupakan nilai paling asasi dalam ajaran Islam. Menegakkan keadilan dan memberantas kedzaliman adalah tujuan utama dari risalah para rasul-Nya. Keadilan seringkali diletakkan sederajat dengan kebajikan dan ketakwaan. (QS. Al-Maidah; 8) :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Terminologi keadilan dalam Al-Qur’an disebutkan dalam berbagai istilah, antara lain; ‘adl (persamaan balasan, persamaan kemanusiaan, persamaan di hadapan hukum dan undang-undang, kebenaran, proporsional), Qist (distribusi yang adil, berbuat dan bersikap adil dan proporsional), Qasd (kejujuran dan kelurusan, kesederhanaan, hemat, keberanian), Qawwam (kelurusan, kejujuran), Hiss (distribusi yang adil, kejelasan, terang), Mizan (keseimbangan, persamaan balasan), Wasat (moderat, tengah-tengah, terbaik).
Gabungan nilai khilafah dan nilai ma’ad (kebangkitan) melahirkan prinsip keadilan sosial. Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar (basicneeds) rakyatnya dan menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya dan yang miskin. Dalam Islam, keadilan sosial terefleksikan dengan pemberian jaminan sosial kepada seluruh rakyatnya secara merata. Jaminan sosial dapat memberikan standar hidup yang layak, termasuk penyediaan pangan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya kepada setiap anggota masyarakat.Menyediakan kebutuhan hidup bagi setiap warganya adalah tugas negara.Namun demikian, bukan berarti negaralah yang menyediakan seluruh kebutuhan tersebut untuk warganya.
















KESIMPULAN


Kita telah memiliki landasan teori yang kuat serta prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam yang mantap. Namun dua hal ini belum cukup, karena teori dan sistem menuntut adanya manusia yang menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam teori dan sistem tesebut. Dengan kata lain harus ada manusia yang berperilaku dan berakhlak secara professional (ihsan dan itqan) dalam bidang ekonomi, terlebih lagi yang posisinya sebagai pejabat pemerintah, Karena teori yag unggul dan sistem ekonomi syari’ah sama sekali bukan merupakan jaminan bahwa perekonomian umat Islam akan secara otomatis dapat berkembang. Sistem ekonomi Islami hanya memastikan bahwa tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syari’ah. Tetapi kinerja bisnis tergantung pada man behind the gun-nya. Karena itu, pelaku ekonomi dalam kerangka ini bisa saja dipegang oleh non muslim. Perekonomian Islam baru dapat maju apabila pola pikir dan perilaku muslim sudah itqan (tekun) dan ihsan (profesional). Ini “mungkin” salah satu rahasia sabda nabi yang artinya sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. Karena akhlak menjadi indikator baik-buruknya perilaku bisnis para pengusaha menentukan sukses-gagalnya bisnis yang dijalankannya.

Sumber : Buku Prinsip Dasar Ekonomi Islam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar